Translate

Senin, 14 Januari 2013


"AKU KAN SELALU SETIA SUAMIKU"

Usia pernikahan kami belumlah genap berjalan satu tahun. Tapi ujian yang kami hadapi benar-benar berat. Terlalu berat malah untuk ukuran kami yang masih belajar untuk membina rumah tangga.

Tapi kami yakin, Allah tak akan menguji kami diluar batas kemampuan kami. Dan kami yakin, bahwa kami bisa melewatinya dengan penuh kesabaran serta keikhlasan.

Tiga hari kemarin, aku pergi ke pasar dengan naik motor diantar Mas Faisal, suamiku. 
Sepulang dari pasar, ketika kami melewati sebuah tikungan, tiba-tiba seorang anak kecil melintas di tengah jalan. Kontan, secara reflek Mas Faisal membanting setir untuk menghindari anak kecil tersebut.

Dari sinilah ujian Allah kepada kami bermula. Beruntunglah anak kecil tersebut bisa kami hindari. Begitu pula dengan aku. Tidak mengalami luka sedikitpun. Hanya sedikit lecet di bagian kakiku.

Tapi yang menimpa Mas Faisal, suamiku? Ia sempat terlindas sebuah mobil yang tiba-tiba datang dari arah depan. Ia mengalami patah tulang betisnya. Dan ada pergeseran tulang sendi pada lututnya. Dan Dokter telah memvonis Mas Faisal akan ada cacat permanen pada kakinya. Bahkan Dokter mewanti-wanti aku sebagai isterinya, agar tabah menghadapi hal yang paling buruk sekalipun. Yaitu hal terparah yang bisa mengakibatkan kelumpuhan.

"Ya Allah..Separah itukah kondisi Suamiku?" ratapku dalam hati.

"Dinda, kenapa menangis?" teguran Mas Faisal membuyarkan lamunanku.

Aku memang masih setia menemani Mas Faisal yang kini tengah terbaring lemah di rumah sakit. Kebetulan baru saja ibu dan bapak pulang meninggalkan kami berdua. 

"Ah, nggak kok Mas. Cuma mataku rada perih. Mungkin karena kurang tirahat." sembari tersenyum aku mencoba menyembunyikan apa yang tengah kupikirkan kepada Mas Faisal.

"Dinda yakin gak ada apa-apa?"
"Yakin banget kok Mas. Mas gak perlu kkhawatirin Dinda ya. Sekarang Mas istirahat saja. Biar kesehatan Mas berangsur-angsur membaik. Dinda mau beres-beres dulu." kataku meyakinkan Mas Faisal, suamiku.

Mas Faisal menatapku dengan tatapan nanar. Tampak sekali betapa pucatnya wajah Mas Faisal. Keliahatan ada suatu beban di matanya. Sesuatu beban yang tak pernah aku lihat pada hari-hari sebelumnya. Ia selalu ceria. Ia selalu tersenyum ketika bersamaku. Tak pernah kulihat wajah Mas Faisal sesedih ini.

"Dinda, kemarilah sebentar." perlahan kudengar ucapan Mas Faisal.

Bergegas aku menghampirinya seraya mengusap keringat yang mulai mengucur di keningnya. Kulitnya masih kerasa agak panas. 

"Ada apa mas? Mas butuh sesuatu ta?" sahutku perlahan.
"Dinda dengarlah. Aku mencintai dinda. Menyayangi dinda dengan segenap rasa hatiku yang paling dalam. Aku ingin hidup Dinda bahagia. Aku tak ingin Dinda hidup dalam sebuah kesedihan dan penderitaan. Dan aku juga tahu Dinda menyayangiku dengan tulus juga. Sebagai bentuk rasa sayangku pada Dinda. Jika pada akhirnya nanti aku tidak bisa sembuh seperti sedia kala, aku rela melepas Dinda dengan tulus dan ikhlas. Aku rela jika Dinda ingin mencari kebahagiaan bersama yang lain. Aku akan lebih bahagia seandainya nanti Dinda bisa bahagia walau tidak bersamaku lagi. Dan...."

Spontan kudekati Mas Faisal. Kupeluk erat tubuhnya yang lemah itu. Air mataku mulai tumpah tak mampu lagi kubendung. Betapa tulusnya Mas Faisal menyayangiku. Aku tak mampu menjawab kata-kata Mas Faisal. Hanya derai air mata dan ungkapan hati yang mampu aku gumamkan seraya makin memeluk Mas Faisal penuh keharuan.

"Jangan katakan itu lagi Mas ya. Percayalah, Dinda tak akan meninggalkan Mas hanya karena keadaan ini. Dinda sudah siap lahir batin Mas, akan menjalani sisa hidup ini hanya bersama Mas. Manis dan pahit, akan dengan ikhlas Dinda jalani. Selalu bersamamu Mas. Sepanjang jalan hidup kita berdua. Hingga ajal memisahkan kita."

Tidak ada komentar: